Ironi Guru Indonesia

Guru di Indonesia itu ironi. Terlepas dari bobroknya sistem (yang sengaja dibangun buat menyengsarakan mereka), mereka tetap mau digaji rendah dan menerimanya begitu saja tanpa mau tahu sebab kenapa mereka digaji rendah. Giliran ada segelintir guru yang mau coba speak up dengan mengkritik kualitas guru dan kaitannya dengan tinggi rendahnya gaji, malah dianggap merendahkan profesi guru.

What?!

Ironi selanjutnya makin menjadi ketika si kontra-kritik tersebut melakukan tindak lanjut yang nggak masuk akal. Daripada ngajak diskusi terbuka, dia malah main lapor, bikin somasi, nuntut permintaan maaf karena dianggap menyakiti hati profesi tersebut (atau bisa jadi hati dia aja yang tersakiti).

Sakit hati sama apa?

Sama anggapan dia sendiri yang merasa direndahkan lalu tersinggung sebab nggak mampu memahami sebuah kritik?

Atau, sama fakta bahwa profesi guru memang tidak pernah diurus dengan benar sama pemerintah?

Kalau sakit hati yang pertama, berarti kan ada salah paham. Harusnya tinggal ngobrol, kan? Kok malah lapor.

Berarti yang kedua? Ini lebih ironi—nggak nerima kenyataan.

Sebagus apa pun kurikulum, kalau para guru nggak mau memahami situasi secara menyeluruh—baik kebijakan pemerintah, isi kurikulum yang terus berubah-ubah, dan sebagainya—maka gimana mau menerapkannya? (Terkait kompetensi dan awareness sebagai guru aja nggak ada.)

Begitu pun kalau para guru udah mati-matian berjuang memahami isi kurikulum, tapi praktik di kenyataannya jadi beda jauh sama tujuan kurikulum sebenarnya (dari maksud si perancang kurikulum), jadi percuma juga (terkait pelaksanaan terjadi penyimpangan jauh).

Ada lagi ironi lainnya.

Di suatu waktu saya pernah ngobrol-ngobrol santai sama beberapa teman yang sekarang udah pada lulus kuliah dan jadi guru. Ngobrolin nasib guru di Indonesia sekarang.

Dalam obrolan tersebut, saya sampai pada pernyataan ini:

“Hebat ya para guru di Indonesia, walaupun gajinya seadanya tapi tetap bisa bertahan hidup. Bahkan udah ada yang menikah dan punya anak, mereka tetap mampu bertahan dengan gaji segitu. Nggak kebayang kalau saya jadi mereka. Salut.”

Ditanggapi sama dia begini:

“Iya, itu karena seorang guru berkahnya luar biasa. Karena rezeki udah diatur sama Allah, jadi mereka merasa cukup terus. Orang banyak duit percuma kalau nggak berkah.”

Bayangin, mereka sampai seputus asa itu sama kesejahteraan mereka sendiri, dengan menutup percakapan pakai istilah “berkah” dan “rezeki udah diatur.” Emang nggak bisa ya kalau duit banyak tapi tetap berkah?

Anehnya lagi, kalau memang mereka nggak cari duit banyak, kok pas ada pembukaan pendaftaran ASN atau P3K malah mati-matian dikejar? Kan yang penting berkah? Nggak sekalian aja bikin sekolah gratis biar makin berkah tuh?

 


Hemat saya, berkah itu penting, tapi nggak ada hubungannya juga sama rendahnya gaji guru. Guru itu profesi paling mulia, harusnya digaji sesuai kemuliaannya. Mereka berhak dan (seharusnya) bisa hidup sejahtera dengan cukup dari gaji guru, tanpa harus ambil sampingan (bisnis dagang, bisnis jasa, dan sebagainya), supaya bisa fokus dalam mengajar dan serius mendidik para peserta didiknya. Dengan harapan mereka kelak jadi generasi cerdas dan berkualitas selanjutnya bagi bangsa kita tercinta, Indonesia.

Yuk sadar, profesionalitas kalian begitu berharga. Jangan mau diremehkan dengan sistem. Kalian berhak menuntut kesejahteraan!