Ketel air panas bersiul. Secangkir kopi hitam disiapkan oleh pagi. Headline internasional soal konflik Iran-Israel mendominasi layar, membawa arus retorika lama: “Iran bukan Islam” atau “Syiah bukan Islam.” Lucunya lagi, komentar demikian justru dilontarkan oleh akun anonymous dengan paham keagamaan maupun sejarah yang tak mampu ditakar. Pertanyaan yang kemudian mendidih, benarkah semua ini soal agama? Atau sekadar politik yang dibumbui aroma teologi?
Syiah merupakan salah satu cabang utama Islam yang berbagi akar sejarah dan spiritual dengan Sunni. Perbedaan keduanya bermula dari soal suksesi kepemimpinan pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, bukan dari perbedaan dalam rukun iman atau rukun Islam. Syiah meyakini bahwa kepemimpinan umat semestinya diwariskan kepada keturunan Nabi, dimulai dari Ali bin Abi Thalib (Nasr, 2006). Namun seperti perdebatan mana yang lebih nikmat antara arabika dan robusta, perbedaan ini kemudian membesar disebabkan dimensi sosial-politik, bukan semata teologi.
Labelisasi bahwa “Syiah bukan Islam” merupakan bentuk eksklusi yang tidak berdasar secara akademik maupun historis. Karen Armstrong dalam Islam: A Short History (2000) menegaskan bahwa perpecahan semacam ini lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika kekuasaan daripada dogma agama. Bahkan, banyak ulama klasik Sunni, seperti Al-Ghazali dan Al-Suyuthi, mengakui Syiah sebagai bagian dari umat Islam.
Iran, sebagai republik Islam Syiah, sering dijadikan simbol tunggal “Syiah politik.” Padahal, kebijakan luar negeri Iran tidak bisa serta-merta dianggap sebagai refleksi teologis Syiah. Vali Nasr dalam The Shia Revival (2006) menjelaskan bahwa kebijakan Iran lebih sering didorong oleh kepentingan geopolitik dan keamanan nasional, bukan murni ajaran keagamaan. Seperti kopi instan yang tak mewakili ragam kopi, Iran tidak bisa mewakili seluruh warisan intelektual dan spiritual Syiah.
Di titik inilah penting membedakan antara kritik terhadap negara (Iran), paham keagamaan (Syiah), dan agama itu sendiri (Islam). Polarisasi yang memanfaatkan agama sebagai senjata identitas seringkali lebih bertujuan politik ketimbang spiritual. Olivier Roy dalam Globalized Islam (2004) menyebut ini sebagai “Islam tanpa budaya,” yakni reduksi Islam menjadi alat mobilisasi politik tanpa pemahaman kontekstual.
Bersamaan dengan sesapan kopi pagi ini, saya menawarkan analogi sederhana: Syiah dan Sunni merupakan dua cangkir kopi hangat. Satu lebih pekat dengan kejujurannya, satu lebih lembut menyapa lidah dan tenggorokan, namun kedua-duanya tetaplah kopi asli yang sah untuk dinikmati kapanpun. Yang merusak kedua-duanya adalah manis gula politik yang menyamarkan rasa asli.
Dalam konflik Iran-Israel, agama sering jadi tameng sekaligus senjata. Tapi agama, seperti halnya kopi, seharusnya dinikmati dengan kehati-hatian dan rasa hormat. Klaim sempit yang menafikan kelompok lain bukan hanya merusak keberagaman, tetapi juga mencederai intelektualitas umat beragama. Sudah saatnya kita berhenti menyeduh ulang retorika usang. Lebih baik duduk bersama, menuang kopi, dan berdialog demi perdamaian. Sebab dunia sudah terlalu pahit, untuk terus disuguhi perang.
-Ashabul Kopi-