Ada masa-masa ketika hidup terasa seperti mata air yang tiba-tiba melimpah. Kita tak tahu pasti dari mana datangnya aliran bahagia, tapi ia menetes pelan di sela-sela tawa, obrolan yang sederhana, dan langkah kaki yang berjalan tanpa beban. Liburan kemarin adalah salah satunya. Di pegunungan yang dingin dan sabar, kami tiba bukan sebagai turis, melainkan sebagai manusia yang ingin bernapas lebih lambat.
Kami berangkat bukan sekadar sebagai rombongan, tapi sebagai mozaik kecil kehidupan: keluarga dengan anak-anak yang selalu menemukan alasan untuk bermain, pasangan muda yang baru belajar mengeja hidup bersama, serta lajang yang tak kalah sibuk menertawakan hidup dan sesekali menertawakan diri sendiri.
Ada banyak jenis tawa yang hadir: tawa anak-anak yang berlari, tawa pasangan muda yang baru belajar berbagi ruang dan waktu, tawa teman lama yang merayakan kebersamaan setelah sekian lama terpisah oleh pekerjaan dan kesibukan. Tapi di balik semua itu, ada sejenis keheningan yang tidak bisa didefinisikan semacam syukur yang tidak diucapkan, hanya dirasakan.
Kami datang bukan untuk mencari sensasi dan petualangan. Kami hanya ingin menepi berhenti sejenak dari mesin waktu yang tak pernah lelah berdetak dan mengingat: bahwa hidup bukan sekadar deret target dan agenda, melainkan ruang batin yang juga perlu ditata. Di sinilah kami, dalam pelukan dingin perbukitan, di mana kabut turun seperti pengampunan, dan embun menyentuh daun-daun teh seperti bisikan Tuhan yang tak terdengar.
Di tengah hamparan kebun teh yang menghijau, kabut turun seperti selimut putih yang dijahit oleh langit. Aroma tanah basah, suara burung yang menyelinap di sela sunyi, dan secangkir kopi hangat.
Anak-anak berlarian mengejar kabut, tertawa saat napas mereka jadi asap. Pasangan muda berbagi teh dan jaket, masih belajar bahasa tubuh satu sama lain. Dan para lajang, di kursi kayu dekat perapian, memandangi lembah dan membiarkan diri larut dalam obrolan yang tidak penting tapi penuh makna.
Kami semua berbeda. Ada yang baru saja sembuh dari luka, ada yang sedang memulai lembar baru, ada pula yang belum tahu sedang ada di halaman berapa. Tapi dalam perbedaan itu, kami semua sama: mencari sesuatu yang tak bisa dibeli, rasa cukup.
“Happiness is not something ready made. It comes from your own actions,” kata Dalai Lama. Dan mungkin, memilih gunung dan memeluk udara dingin ini adalah tindakan kecil kami untuk kembali mengenali kebahagiaan yang tak disediakan algoritma.
Tak ada dari kami yang mengucap doa keras-keras. Tapi mungkin, dalam duduk melingkar mengelilingi api unggun, dalam membagi potongan makanan dan diam yang tak kikuk, kami sedang berdoa dengan cara kami sendiri. Dan di tengah semua itu, kami mulai merasakan sesuatu yang lebih halus dari sekadar bahagia: rasa cukup. Rasa bahwa apa yang ada, meski sederhana, adalah anugerah yang tak patut diremehkan.
Bertrand Russell, dalam The Conquest of Happiness, menulis: “The secret of happiness is to face the fact that the world is horrible, horrible, horrible.” Dan justru karena dunia sering tak ramah, maka saat-saat seperti ini menjadi suaka. Dalam dingin yang menggigit, dalam obrolan tanpa pretensi, syukur muncul bukan sebagai seruan, tapi sebagai napas.
Syukur bukan milik mereka yang memiliki segalanya, melainkan mereka yang bisa melambat dan benar-benar mengalami. Filsuf Martin Heidegger menulis bahwa to dwell is to be on earth as a mortal, and to let things be. Mungkin itulah yang kami lakukan di sini. Kami tidak sedang menaklukkan alam, kami sedang berdamai dengannya dan dengan diri sendiri.
Di kota, hidup dipenuhi tanda seru. Di pegunungan, kami belajar memakai tanda koma. Berhenti sejenak. Menyimak. Menengok hati sendiri.
Thich Nhat Hanh pernah menulis:
“Breathing in, I calm my body. Breathing out, I smile. Dwelling in the present moment, I know this is a wonderful moment.”
Dan di sini, dalam diam yang berselimut kabut, kami tahu ini bukan hanya momen indah ini adalah pelajaran eksistensial: bahwa hadir sepenuhnya adalah bentuk paling tulus dari syukur.
Menjelang sore, kabut turun lebih pekat. Anak-anak mulai mengantuk. Pasangan muda mulai mengemas ransel. Para lajang menghabiskan kopi terakhir sambil menatap matahari yang malu-malu berpamitan. Kami pulang ke kota, ke rutinitas, ke layar-layar yang menunggu. Tapi sesuatu dari pegunungan itu tetap tinggal di dada semacam keheningan yang jernih. Semacam syukur yang tak mudah dikatakan, tapi terus mengendap.
Albert Camus pernah berkata:
“In the depth of winter, I finally learned that within me there lay an invincible summer.”
Dan dalam dingin kabut itu, kami belajar: bahwa di dalam kita, masih ada musim hangat yang tidak mati. Ia hanya menunggu disentuh kembali oleh alam, oleh tawa bersama, oleh kebersamaan yang sederhana, dan oleh waktu yang tidak tergesa. syukur tidak selalu berwujud teriakan. Ia bisa hadir dalam bisik. Dalam secangkir Kopi yang dibagi. Dalam kabut yang turun pelan.
Tidak semua momen harus diabadikan. Tidak semua kebahagiaan harus dijelaskan. Di pegunungan itu, kami belajar: bahwa syukur sejati hadir bukan karena hidup mudah, tapi karena kita memilih untuk melihat yang kecil, yang hadir, yang cukup.
Dan pada akhirnya, kami tahu: Kami tidak sekadar berlibur. Kami sedang belajar hidup.