Antara Qiyasi dan Sima’i: Bayang-Bayang Politik dalam Konstruksi Nahwu Awal

Nahwu, sebagai tata bahasa Arab klasik, menjadi salah satu ilmu yang dipersepsikan sebagai disiplin ilmu yang murni objektif, lahir semata-mata dari kebutuhan untuk memelihara kemurnian bahasa al-Qur’an dan Hadis serta memfasilitasi pemahaman teks-teks klasik. Namun, dalam kajian historisnya yang mengungkapkan narasi dan motif yang lebih kompleks. Konstruksi kaidah nahwu, terutama pada periode formatifnya (abad ke-8 hingga ke-10 M), tidak terlepas dari tarikan-tarikan kekuasaan dan kepentingan politik yang beroperasi dalam Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Di sini kita akan coba mendiskusikan bahwa kepentingan politik memainkan peran signifikan dalam membentuk arah, fokus, dan bahkan beberapa rumusan kaidah nahwu itu sendiri.

‘Nahwu’ sebagai Alat Penyeragaman dan Peneguh Otoritas

Standarisasi di bawah Pemerintahan Umayyah (661-750 M), yang memerintah wilayah kekuasaan Islam yang sangat luas dan multi-etnis, menghadapi tantangan besar dalam administrasi dan komunikasi. Perbedaan dialek Arab yang sangat mencolok di berbagai daerah menimbulkan masalah dalam penyampaian perintah, penulisan dokumen resmi, dan interpretasi hukum serta agama. Kesalahan bahasa dalam komunikasi resmi atau bahkan dalam membaca Al-Qur’an berpotensi menimbulkan konflik dan melemahkan otoritas pusat

Nahwu muncul sebagai jawaban atas kebutuhan politik akan standarisasi bahasa. Dengan menetapkan kaidah baku—berbasis dialek Quraisy yang menjadi bahasa elite Mekkah-Madinah dan al-Qur’an, pemerintah Umayyah berupaya menciptakan lingua franca administratif dan keagamaan yang seragam. Ini bertujuan untuk 1) Memperlancar birokrasi dan komunikasi antardaerah; 2) Mempertahankan otoritas pusat dengan menciptakan keseragaman; dan 3) Melindungi status quo politik dengan mengukuhkan dialek penguasa (Quraisy) sebagai standar “terbenar” dan “terpelihara”.

Dampaknya Fokus awal nahwu sangat praktis dan fungsional: menyusun kaidah yang dapat mencegah lahn (kesalahan berbahasa) terutama dalam konteks resmi dan keagamaan. Kebutuhan politik akan keteraturan dan kontrol ini mendorong kodifikasi awal nahwu.

Pergantian kekuasaan ke Dinasti Abbasiyah (750 M) membawa perubahan dinamika pada formulasi nahwu. Abbasiyah, yang menggulingkan Umayyah dengan dukungan kuat dari masyarakat non-Arab (mawali) terutama di Persia, menghadapi kebutuhan untuk melegitimasi kekuasaan mereka di tengah masyarakat yang semakin kompleks secara budaya dan intelektual.

Nahwu menjadi salah satu medan pertarungan simbolis untuk legitimasi kekuasaannya—sebagai salah satu perangkat memaknai teks iliahiah. Pusat-pusat intelektual baru bermunculan, terutama Basrah dan Kuffah, yang menjadi cerminan politik dan kultural tertentu. Basrah, misalnya, dianggap lebih “rasional” dan terkait dengan Mu’tazilah—yang mendapat dukungan resmi di masa Khalifah al-Ma’mun, sedangkan Kuffah sering diasosiasikan dengan tradisionalisme dan kecenderungan Syiah.

Persaingan ini, antara madzhab Basrah dan Kuffah dalam nahwu tidak hanya bersifat akademis murni. Perbedaan pendapat yang tajam dalam menafsirkan data bahasa (syair Jahili, Al-Qur’an, Hadis) mengakar pada perbedaan metodologi yang mencerminkan worldview-nya dan, secara tidak langsung, kepentingan kelompok pendukungnya. Dukungan politik dan patronase dari elite tertentu bisa mengangkat satu madzhab di atas madzhab yang lainnya.

Ambil contoh ialah Argumen tentang qiyasi (analogi) yang lebih kuat di Basrah mencerminkan pendekatan rasional yang sejalan dengan Mu’tazilah. Berbeda dengan Kuffah yang lebih mengandalkan periwayatan (sima’i) dan menerima bentuk-bentuk langka (syadzdz) ‘mungkin’ mencerminkan sikap yang lebih inklusif terhadap keragaman dialek atau tradisi lokal tertentu. Perdebatan tentang status gramatikal kata-kata tertentu dalam al-Qur’an bisa memiliki implikasi teologis yang terkait dengan konflik politik-teologis saat itu.

Contoh lainnya ialah perdebatan status “Inna wa Akhawatuha” dan Khabar Mufrad. Di mana bagi Madzhab Basrah (Qiyasi) Menolak khabar mufrad setelah inna (eg., “إِنَّ زَيْدًا الْقَائِمَ”), mewajibkan khabar berupa jumlah (kalimat). Argumen ini didasarkan pada analogi dan logika bahasa universal. Sedangkan Kuffah (Sima’i) Menerima khabar mufrad jika ada syahid (bukti otentik) dari syair atau penafsiran tertentu terhadap al-Qur’an (e.g, syair “فَإِنَّكَ كَالْوَدِيعِ” atau ayat “إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ”). Argumentasinya mengutamakan periwayatan yang didengar dari penutur (sima’i) dan keragaman penggunaan dialek.

Perdebatan fundamental Qiyasi vs. Sima’i merupakan sikap Kuffah yang inklusif dan mungkin mencerminkan upaya mengakomodasi keragaman dialek dalam pemerintahan Abbasiyah yang multikultural, sementara ketegasan Basrah mempertahankan standar “murni” Hijaz.

Perdebatan lainnya juga seperti persoalan Fungsi dan I’rab pada lafadz “Mā” dalam Kalimat Negatif (e.g., “مَا زَيْدٌ قَائِمًا”), yang bagi Madzhab Basrah (Taqdīr) yaitu “” hanya huruf nafi. Ada “In” tersamar yang menyebabkan nasb “qā’iman”. Bagi Kuffah (‘Amal Langsung) yaitu “” berfungsi ganda sebagai nafi dan āmil nashb langsung yang menasabkan “qā’iman”.

Perbedaan dalam menjelaskan fenomena kompleksitasnya. Di mana Teori taqdiri (penyamaran) Basrah bisa selaras dengan pendekatan rasional Mu’tazilah terhadap hal-hal tersirat. Penjelasan langsung Kuffah lebih sesuai dengan literalisme (ahl al-Ẓāhir) yang berimplikasi perdebatan teknis menjadi proksi perbedaan teologis-politik.

Dukungan politik dan patronase dari elite tertentu bisa mengangkat satu madzhab di atas yang lain. Kemenangan suatu pandangan dalam perdebatan teknis ini akan menentukan kaidah mana yang menjadi standar dalam kurikulum dan tata aturannya.

Mekanisme Pengaruh Politik

Patronase dan Penetapan Otoritas Khalifah dan Wazir (menteri) sering menjadi patron utama para ulama dan ahli nahwu. Dukungan finansial dan politik ini sangat penting bagi perkembangan madrasah nahwu. Seorang ahli nahwu yang pandangannya sejalan dengan kebijakan atau ideologi penguasa memiliki peluang lebih besar untuk diakui, karyanya disebarluaskan, dan dijadikan rujukan resmi. Sebaliknya, pandangan yang dianggap “menyimpang” atau bertentangan dengan kepentingan penguasa bisa ditekan. Penunjukan qadli (hakim) atau sekretaris negara (kuttab) sering mensyaratkan penguasaan nahwu, sehingga standar nahwu yang berlaku secara tidak langsung dikontrol oleh otoritas politik.

Otoritas politik, melalui lembaga pendidikan yang didanai negara (e.g., Baitul Hikmah di masa Abbasiyah) atau melalui penunjukan guru besar (e.g., Imam Kisa’i), dapat mempengaruhi kurikulum pengajaran nahwu. Kitab-kitab nahwu tertentu yang dianggap “ortodoks” atau sesuai dengan pandangan penguasa (e.g., kitab yang mengikuti pandangan Basrah jika Mu’tazilah berkuasa) didorong penggunaannya, sementara yang lain mungkin diabaikan. Ini membentuk kanon pengetahuan nahwu yang diterima secara luas, seperti kemenangan akhir pandangan Basrah dalam banyak perdebatan yang kemudian menjadi kaidah standar seperti dalam Nadzam Alfiyyah Ibn Malik.

Penegasan bahwa dialek Quraisy (bahasa al-Qur’an) adalah standar tertinggi dan satu-satunya yang sahih secara gramatikal memiliki dimensi dan motif politiknya. Ini mengukuhkan hegemoni kultural suku Quraisy—dan kemudian Arab secara umum, terutama di masa awal—atas kelompok non-Arab (mawali) yang jumlahnya semakin besar dan berpengaruh. Kaidah nahwu yang ketat menjadi alat untuk mempertahankan “kemurnian” bahasa Arab sekaligus menjadi barrier bagi non-Arab untuk sepenuhnya masuk ke dalam lingkaran elite politik dan budaya, kecuali mereka menguasainya dengan sempurna. Perdebatan seperti penolakan Basrah terhadap bentuk-bentuk yang dianggap “syadzdz” oleh Kuffah juga dapat dilihat sebagai upaya mempertahankan hegemoni standar pusat (Hijaz) terhadap variasi daerah.

Karya-karya sejarawan linguistik Arab klasik seperti Ibn Qutaybah dalam Al-Ma’arif dan al-Jahiz dalam Al-Bayan wa al-Tabyin seringkali menyiratkan konteks politik di balik perselisihan linguistik. Mereka mencatat bagaimana perdebatan nahwu bisa menjadi sangat sengit dan terkait dengan rivalitas antar kota atau kelompok.

Penelitian modern oleh tokoh seperti C.H.M. Versteegh (The Arabic Language), Ramzi Baalbaki (The Legacy of the Kitab), dan M.G. Carter (Sibawayhi) semakin menegaskan bahwa faktor sosio-politik tidak dapat diabaikan dalam memahami perkembangan awal nahwu. Mereka menunjukkan bagaimana kebutuhan administrasi Umayyah, persaingan Basrah-Kuffah yang mencerminkan perbedaan kultural dan politik (seperti dalam contoh-contoh perdebatan di atas), serta patronase penguasa sangat membingkai kerja para ahli nahwu awal.

Akhir Kalam

Klaim bahwa nahwu berkembang secara steril dan bebas nilai adalah simplifikasi yang berlebihan. Meskipun motivasi keagamaan (memelihara Al-Qur’an) dan linguistik (memahami teks kuno) jelas merupakan pendorong utama, kepentingan politik bertindak sebagai kekuatan formatif yang sangat kuat. Kebutuhan Umayyah akan standarisasi untuk konsolidasi kekuasaan, kebutuhan Abbasiyah akan legitimasi melalui pendekatan intelektual, serta persaingan sengit antar madzhab nahwu (Basrah vs. Kuffah) yang tercermin dalam perdebatan-perdebatan teknis tentang “inna”, “”, dan lainnya – semuanya membentuk lanskap di mana kaidah-kaidah nahwu dirumuskan, diperdebatkan, dan akhirnya diterima. Perdebatan ini bukan hanya tentang gramatika, tetapi juga tentang metodologi (Qiyasi vs. Sima’i), otoritas menafsirkan teks suci, dan keselarasan dengan aliran teologis-politik yang dominan. Patronase penguasa, penetapan kurikulum, dan penggunaan nahwu sebagai penanda identitas dan status sosial menjadi mekanisme konkret pengaruh politik tersebut. Memahami konstruksi kaidah nahwu secara utuh, seperti yang ditunjukkan oleh konflik antar mazhab, mengharuskan kita untuk melihat melampaui teks-teks gramatikal itu sendiri dan memasukkan analisis terhadap dinamika kekuasaan dan kepentingan politik yang beroperasi pada masa formatifnya. Pengakuan atas pengaruh politik ini tidak mengurangi nilai ilmiah nahwu, tetapi justru memberikan pemahaman yang lebih kaya, lebih manusiawi, dan lebih historis tentang bagaimana ilmu pengetahuan, bahkan ilmu yang sangat teknis seperti tata bahasa, berkembang dalam konteks sosial-politik yang nyata. Nahwu adalah produk interaksi kompleks antara kecerdasan linguistik, kesalehan agama, dan realitas kekuasaan zamannya.