Analisis Kasus FI vs SM Berdasarkan Teori Perbandingan Sosial

Pernahkah kamu merasa lebih baik setelah melihat kondisi orang lain yang lebih buruk? Atau, sebaliknya, pernahkah kamu merasa rendah diri setelah membandingkan pencapaianmu dengan orang lain yang lebih sukses? Fenomena ini adalah inti dari Teori Perbandingan Sosial, sebuah konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh psikolog sosial Leon Festinger pada tahun 1954. Teori ini menyatakan bahwa manusia punya dorongan alami untuk mengevaluasi diri dengan cara membandingkan diri dengan orang lain. Namun, tidak semua perbandingan itu sama. Ada yang bersifat ke atas (membandingkan dengan yang lebih baik) dan ada juga yang bersifat ke bawah (membandingkan dengan yang lebih buruk).

Kasus yang dialami oleh SM, di mana reputasinya hancur di mata publik akibat narasi seorang influencer (FI), adalah contoh nyata bagaimana perbandingan sosial ke bawah dimanfaatkan sebagai alat yang destruktif. Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan pelecehan yang ditujukan kepada SM, artikel ini hanya akan membedah fenomena yang terjadi dari sudut pandang teori perbandingan sosial. Dalam kasus ini, FI dan audiensnya secara efektif menempatkan SM pada posisi “di bawah” untuk mengukuhkan posisi moral dan sosial mereka sendiri.

Dalam skenario ini, FI dan audiensnya membandingkan perilaku SM dengan norma sosial dan moral yang berlaku, khususnya terkait pelecehan seksual, etika interpersonal, dan perlindungan korban. Perilaku SM juga dibandingkan dengan standar ideal tentang “bagaimana seharusnya seseorang berperilaku.” Berdasarkan narasi yang dibangun, SM ditempatkan pada posisi yang lebih rendah secara moral dan sosial. Dia dicap sebagai “peleceh,” “orang yang tidak bermoral,” atau “seseorang yang pantas dibenci.”

Di sisi lain, FI, dengan “mengungkap” dugaan kesalahan SM, secara tidak langsung menempatkan dirinya pada posisi yang lebih tinggi. Dia seolah menjadi pembela kebenaran, pahlawan bagi korban, atau figur moral yang superior. Ini adalah sisi lain dari perbandingan ke bawah: dengan menjatuhkan orang lain, seseorang bisa merasa lebih baik atau lebih berkuasa.

Tujuan dari perbandingan ini, terutama bagi FI, adalah untuk peningkatan diri (self-enhancement). Dengan menunjuk SM sebagai “pelaku,” FI dapat memperkuat citra dirinya sebagai individu yang bermoral dan berani, yang pada akhirnya meningkatkan status dan legitimasinya di mata audiens. Bagi audiens yang setuju, narasi ini menciptakan validasi kelompok (group validation). Mereka merasa terhubung, memvalidasi pandangan moral mereka, dan merasa menjadi bagian dari kelompok yang “benar” atau “baik” dengan menempatkan SM sebagai “yang jahat” di luar kelompok mereka. Puncak dari perbandingan ke bawah ini adalah mobilisasi sosial, yang efektif membangkitkan kemarahan publik dan memobilisasi tindakan, seperti pemecatan SM, karena ia digambarkan sebagai ancaman moral yang harus dieliminasi dari masyarakat.

Sebagai target dari perbandingan sosial ke bawah ini, SM mengalami dampak negatif yang sangat parah: penurunan harga diri, distres emosional, isolasi sosial, dan kerugian material, termasuk kehilangan pekerjaan. Pada akhirnya, inti dari penderitaan SM adalah menjadi objek dari perbandingan sosial yang merusak reputasi dan kehidupannya.

Referensi:

Teori Perbandingan Sosial pertama kali dicetuskan oleh psikolog sosial Leon Festinger pada tahun 1954. Teori ini menyatakan bahwa setiap orang memiliki dorongan untuk mendapatkan evaluasi yang akurat atas opini dan kemampuan diri mereka dengan membandingkan diri dengan orang lain. Perbandingan ke bawah (Festinger, 1954) secara spesifik menunjukkan bahwa individu cenderung membandingkan diri dengan orang lain yang mereka anggap lebih buruk untuk meningkatkan perasaan subjektif mereka tentang diri sendiri.

Sumber Tambahan:

  • Festinger, L. (1954). A Theory of Social Comparison Processes. Human Relations, 7(2), 117–140.
  • Wills, T. A. (1981). Downward Comparison Principles in Social Psychology. Psychological Bulletin, 90(2), 245–271.